Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPS
Bagi siswa yang duduk di bangku SMA, pasti tau dengan istilah “penjurusan”. Penjurusan di SMA ini secara umum dibagi menjadi IPA [Ilmu Pengetahuan Alam] dan IPS [Ilmu Pengetahuan Sosial]. Tetapi ada juga beberapa sekolah yang masih memberikan pilihan jurusan Bahasa. Beberapa tahun yang lalu, penjurusan di SMA dibagi menjadi lebih spesifik, ada jurusan Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa, dll. Tapi untuk pembahasan artikel kali ini, kita mau fokus untuk bahas tentang perbandingan jurusan IPA dan IPS.
Cerita kita tentang Jurusan IPA atau Jurusan IPS kali ini disajikan oleh A.R. Wibowo. Mari kita simak ceritanya;
Ngomong-ngomong soal penjurusan, sebetulnya apa sih tujuan dari penjurusan? Katanya sih, penjurusan ini punya tujuan untuk bikin siswa jadi fokus sama salah satu rumpun ilmu pengetahuan tertentu. Berarti idealnya nih, lo yang belajar IPA akan lebih fokus belajar tentang ilmu-ilmu yang mempelajari bagaimana alam ini bekerja seperti Fisika, Kimia, dan Biologi. Sementara lo yang jurusan IPS akan lebih ngulik ilmu tentang interaksi sosial masyarakat seperti Sejarah, Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi. Cuma masalahnya, apakah betul pemisahan jurusan antar IPA dan IPS betul-betul merepresentasikan konsep itu?
Sebelum lanjut, gua mau cerita pengalaman kecil gua beberapa waktu yang lalu dicurhatin sama sepupu yang baru aja memutuskan jurusannya. Berhubung sepupu gua ini seneng debat ngikutin perkembangan politik dan ekonomi mancanegara, dia memilih IPS sebagai penjurusan di masa SMA-nya. Setelah sebulan menjalani kegiatan belajar-mengajar, sepupu gue mengeluh bahwa dia selalu dibanjiri dengan pertanyaan sama teman-temannya
Kalo mau bicara konsep ideal dari tujuan awal pemisahan antara dua rumpun ilmu tersebut, tentu saja jawabannya : nggak dong, anak IPA dan IPS kan punya ranahnya masing-masing. Tapi kalo kita balik ke realita, nggak bisa dipungkiri bahwa emang ada fenomena ganjil dalam dunia pendidikan kita, dimana jurusan IPS dinilai lebih inferior dibandingkan jurusan IPA. Bahkan kalo dibedah, jurusan IPA seolah-olah dipandang sebagai jurusan yang berisi anak-anak yang rajin belajar, suka ngitung, anak baik-baik, pekerja keras, tapi kurang banyak bergaul karena kebanyakan waktunya dihabisin di tempat les/bimbel. Sedangkan anak-anak IPS dipandang sebagai kumpulan anak yang males belajar, tukang main, lebih jago hafalan, punya kemampuan bergaul yang lebih oke dibandingkan dengan anak-anak IPA.
Pandangan seperti ini emang nggak cuma lo doang yang ngerasain di jaman sekarang ini. Miskonsepsi ini sebetulnya udah jadi semacam stigma nggak tertulis selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi. So, jangan heran kalo stereotype semacam ini nggak cuma ada di pikiran pelajar SMA, tapi juga sampai ke kalangan orangtua bahkan beberapa guru tertentu. Nah, dalam kesempatan kali ini, gua mau coba ngebahas beberapa miskonsepsi atau pandangan umum yang keliru antara jurusan IPA dengan jurusan IPS. Okay, langsung aja yuk kita mulai pembahasannya:
Penyebab adanya miskonsepsi seperti ini bisa jadi bermacam-macam, dari mulai kualitas soal dan tingkat kesulitan yang jomplang antara pelajaran-pelajaran IPA dengan IPS, kualitas/kemampuan guru IPA dan IPS yang berbeda, sampai gengsi dari kalangan orangtua murid. Hal-hal seperti inilah yang justru secara simultan menguatkan miskonsepsi ini dari waktu ke waktu. Tanpa sadar hal seperti ini yang membentuk stigma terhadap jurusan IPA maupun IPS. Sehingga siswa yang nilai akademisnya oke dituntut untuk masuk ke jurusan IPA, padahal mungkin sebetulnya ketertarikan minat dia adalah topik-topik yang berbau sosial.
Cuma karena gak mau dicap sebagai "anak kurang rajin belajar jadi gak mampu masuk IPA" jadinya milih jurusan yang sebetulnya bukan minat dia. Sebaliknya, siswa yang nilai akademisnya kurang oke jadi terpaksa masuk IPS karena standard nilai untuk masuk penjurusan IPA lebih tinggi daripada jurusan IPS, padahal mungkin sebetulnya minat anak ini lebih suka topik yang berkaitan dengan ilmu alam, cuma karena dia males belajar aja jadi terpaksa masuk IPS.
Nah, menurut gua sih idealnya baik lo yang mau masuk jurusan IPA atau IPS, dua-duanya harus punya standar sendiri-sendiri. Jadi, konsepnya bukan yang gak lulus jurusan IPA, langsung dimasukin ke jurusan IPS. Tapi dilihat dulu, apakah anak tersebut emang layak untuk masuk jurusan IPS atau enggak. Intinya setiap siswa diberikan kebebasan untuk memilih jurusan-nya sesuai dengan minat mereka masing-masing, yang tentu cermin yang paling mudah untuk melihat minat adalah nilai akademis masing-masing pelajaran. Terlepas dari nilai akademis itu, emang sebaiknya penjurusan itu dikembalikan lagi pada keputusan masing-masing siswa.
So, dengan ada standardisasi dan konsep seperti itu, sebetulnya nggak perlu ada tuh jenjang superioritas-inferioritas di antara dua bidang tersebut. Baik IPA maupun IPS sebetulnya sama-sama membutuhkan kompetensi yang berbeda-beda dan setiap pelajar bisa jadi bener-bener jago di bidangnya masing-masing.
Ini adalah salah satu stereotype yang dari dulu sampe sekarang awet banget nempelnya di masyarakat. Seolah-olah tingkat kecerdasan siswa itu cuma dibagi jadi dua tolak ukur doang: hitungan dan hafalan. Kalo lo jago hitungan ya itu tandanya lo cocok masuk ke jurusan IPA, kalo lo jago ngehafalin, berarti lo cocoknya masuk jurusan IPS. This is so wrong in so many ways!
Nggak ada satu pun pelajaran hitungan di IPA, baik Fisika, Kimia, dan Biologi itu sama sekali bukan pelajaran berhitung. Kalau pun ada yang namanya pelajaran berhitung, yang paling deket itu ya pelajaran Akuntansi, itu pun malah dia lebih pas masuk ke jurusan IPS.
Nggak ada satu pun pelajaran di IPS yang menuntut hafalan, kalo sekarang lo yang di jurusan IPS masih banyak ngehafalin materi pelajaran, berarti cara belajar lo yang keliru. Baik Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, maupun Geografi itu pelajaran yang menuntut pemahaman konseptual yang komprehensif. Sementara kalo lo udah ngerti konsepnya, dengan sendirinya juga lo akan hafal sama istilah-istilah yang digunakan.
Nih ya, gua mau bahas sedikit pembedahan tingkat kecerdasan yang jauh lebih bener daripada pembagian hafalan-hitungan. Berdasarkan Bloom’s Taxonomy, kemampuan manusia dalam domain kognitif terbagi menjadi tiga aspek, yaitu:
Level 1: Knowledge, yang termasuk dalam knowledge adalah pengetahuan kita mengenai fakta-fakta atau terminologi yang spesifik, pengetahuan mengenai metode-metode tertentu, dan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan teori-teori universal.
Level 2: Comprehension, Sedangkan comprehension merupakan kemampuan kognitif yang melibatkan kemampuan untuk memahami konsep, membandingkan konsep, menginterpretasikan suatu fenomena atau abstraksi tertentu, dan dapat menyimpulkan main idea dari pembahasan-pembahasan tertentu.
Level 3: Critical Thinking, terdiri dari beberapa dimensi, yaitu: analysis, evaluation, synthesis.
Suatu aktivitas pembelajaran dapat dikatakan efektif dan memberikan manfaat ketika aktivitas tersebut dapat membawa kita ke level 3: kognisi critical thinking. Ketika kita cuma itung-itungan dengan ngehafal rumus, atau tau istilah-istilah dengan cara ngehapal, maka lo hanya sampai ke level kognitif knowledge doang.
Nah untuk bisa belajar dengan cara yang bener, lo justru jangan cuma sampai ke level-1 doang, tapi lo juga dituntut untuk mengolah knowledge itu menjadi level 2: comprehension hingga ke level 3: analysis, evaluation, dan synthesis. Konsep inilah yang selama ini dibahas sama Glenn di artikel sebelumnya tentang perbedaan studying dengan learning.
So, menurut gue, baik ketika lo masuk jurusan IPA ataupun jurusan IPS, hapalan dan itungan itu bukanlah hal yang patut lo pusingin. Justru hal yang harus lo pastikan adalah apakah lo paham dengan apa yang disampaikan oleh guru/apa yang sedang lo pelajarin. Ketika lo udah paham sama suatu konsep, secara otomatis lo akan familiar dengan konsep tersebut, dan tanpa intensi untuk menghafal, lo akan hafal istilah-istilah dan rumus-rumus itu dengan sendirinya. Pas SMA, gue punya prinsip “Yang penting ngerti dulu, kalau hafal mah itu bonus buat gue.”
"Lha, bukannya selama ini gua pikir matematika itu identik dengan jurusan IPA?"
Nope. IPA maupun IPS adalah science. Maksudnya science, itu artinya ilmu mempelajari hal yang konkrit, sedangkan matematika itu adalah ilmu abstrak, bukan konkrit. Jadi sekali lagi, matematika itu bukan science
Istilah science artinya kita mempelajari ilmu yang bisa diamati dan bisa direpresentasikan dalam dunia nyata, pembuktiannya disebut dengan evidence. Sedangkan inti dari matematika itu adalah abstract modeling dari logika dimana pembuktiannya biasa disebut dengan proof. Jadi matematika merupakan ilmu pengetahuan murni yang bersifat abstrak dan dia bisa berdiri sendiri tanpa sokongan ilmu-ilmu lain.
So, Matematika itu sama sekali nggak identik sama hitungan apalagi jurusan IPA. Matematika itu gak nyambung sama sekali sama ilmu alam maupun hitungan. Jadi sebetulnya baik jurusan IPA maupun IPS harus sama-sama menguasai pelajaran matematika dengan baik, karena konsep-konsep dasar dari matematika bisa diterapkan untuk membantu cabang-cabang ilmu lainnya dalam proses pengembangan ilmu tersebut.
Ketika gue SBMPTN, banyak temen gue yang ngeluh karena anak-anak IPA dianggap sering “mengambil lahan” anak-anak IPS ketika memasuki jurusan-jurusan pas mau kuliah.
Sebetulnya sih, hal ini ada benernya juga, mengingat banyak banget anak-anak yang dulunya berada di jurusan IPA tapi pas SBMPTN ngambil jurusan IPC supaya bisa ambil jurusan IPS pas kuliahnya. Termasuk gue juga dari jurusan IPA emang akhirnya milih ngambil Psikologi di UI, hehe..
Terus biasanya kalo anak-anak IPA yang ngambil IPC ada yang lulus pas SBMPTN-nya dalam ngambil jurusan seperti Psikologi, Ekonomi, atau Hubungan Internasional, langsung pada menggerutu seperti ini.
"Halah anak IPA kenapa sih masih ngerebut aja lahan anak IPS!? Padahal kan mereka udah punya jurusannya sendiri, kenapa gak dari awal aja kalo gitu mereka ambil jurusan IPS? Mereka kan pinter-pinter jadi gampang aja kalo mau ngambil soshum, sedangkan kita yang di IPS kan gak bisa segampang itu ngambil jurusan IPA."
Nggak sedikit juga lho, lo ngedengerin komentar seperti ini, terutama nanti begitu lo yang di kelas 12 SMA udah mulai mikirin jurusan kuliah. Sebenernya sikap seperti ini mungkin lo anggep sebagai celotehan biasa aja, tapi jangan salah lho. Sikap seperti ini tuh bisa diterjemahkan sebagai sikap inferior yang juga berperan menambah pupuk paradigma yang salah tentang pembagian IPA maupun IPS.
Kita semua sebetulnya juga tau kan, kalo jurusan IPA mupun jurusan IPS sebetulnya bisa aja kok daftar IPC pas SBMPTN. Tinggal seberapa niat aja lo belajar sebelum SBMPTN dan seberapa siap elo untuk ngehadapin persaingan untuk mendapatkan jurusan di universitas tersebut. Jadi seharusnya nih, baik jurusan IPA maupun IPS ya kembali pada kompetisi yang fair dan sejajar sebagai sesama intelektual muda untuk bisa mendapatkan jurusan kuliah dan universitas yang diinginkan.
So, in the end, gue cuma mau nekenin kalau sebenernya IPA dan IPS itu bukanlah dua disiplin ilmu yang berlainan satu sama lain, bukan juga dua disiplin ilmu yang berada di satu kontinum yang sama [maksudnya gak bisa dibandingin kalo ilmu X lebih baik dari pada ilmu Y]. Setiap cabang ilmu pengetahuan menurut gue memiliki landasan berpikir masing-masing tapi ilmu-ilmu tersebut juga bisa terintegrasi satu sama lain dalam menjelaskan segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Pemisahan antara "alam" dan "sosial" sebetulnya hanyalah simplifikasi dan label untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut pandang tertentu.
Misalnya gini deh, ketika kita meninjau kembali tentang fenomena wabah Black Death yang terjadi di Eropa pada abad 14, kita bisa meninjau fenomena ekstrim ini dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu. Buat lo yang belum tau, Black Death merupakan pandemi [wabah penyakit] pertama di dunia, dengan total kematian diperkirakan hingga 200 juta jiwa! [itu hampir sama banyaknya dengan jumlah populasi penduduk Indonesia sekarang lho].
Penyebabnya cuma bakteri yang namanya Xenopsylla cheopis. Hal ini mungkin bisa ditinjau dari sudut pandang biologi tentang bagaimana wabah ini menyebar dengan sistem parasit 2 level. Tikus [Rattus ratus] yg diparasiti oleh Pinjal [Xenopsylla cheopsis] dan diparasiti lagi oleh bakteri pes [Yersinia pestis]. Tapi, fenomena ini juga bisa ditinjau dari sudut pandang lain seperti perubahan sosiologi masyarakat Eropa yang berubah drastis. Sampai dalam sudut pandang politik dengan mulai dari berkurangnya kepercayaan terhadap otoritas Kerajaan Roma.
Nah, dari contoh fenomena wabah Black Death yang gua sedikit kupas di atas, kita jadi punya gambaran komprehensif terkait fenomena-fenomena tertentu di lingkungan kita dengan melihat dari berbagai macam sudut pandang, baik segi alam maupun sosial.
Selain itu, kita juga bisa mengambil kesimpulan yang tepat terkait suatu fenomena kalau kita bisa menganalisisnya dari berbagai sudut pandang dan memilih sudut pandang mana yang paling pas dan bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang kita analisis.
Akhir kata pesen gua cuma satu, bahwa sebetulnya yang namanya ilmu itu gak bisa kita kategoriin sebagai IPA atau IPS, itu sebetulnya cuma label agar memudahkan untuk dipelajari doang. Karena pada hakikatnya, alam semesta ini bekerja dan berinteraksi dalam satu kesatuan sebagaimana adanya kita lihat sekarang ini, dan pembagian ilmu itu hanyalah penalaran kita untuk memudahkan cara kita memandang suatu fenomena yang terjadi.
Keterangan Sumber :
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Masih menganggap matematika hanya hitung-hitungan semata, mari kita lihat kreativitas siswa ini;
Sumber https://www.defantri.com/
Cerita kita tentang Jurusan IPA atau Jurusan IPS kali ini disajikan oleh A.R. Wibowo. Mari kita simak ceritanya;
Ngomong-ngomong soal penjurusan, sebetulnya apa sih tujuan dari penjurusan? Katanya sih, penjurusan ini punya tujuan untuk bikin siswa jadi fokus sama salah satu rumpun ilmu pengetahuan tertentu. Berarti idealnya nih, lo yang belajar IPA akan lebih fokus belajar tentang ilmu-ilmu yang mempelajari bagaimana alam ini bekerja seperti Fisika, Kimia, dan Biologi. Sementara lo yang jurusan IPS akan lebih ngulik ilmu tentang interaksi sosial masyarakat seperti Sejarah, Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi. Cuma masalahnya, apakah betul pemisahan jurusan antar IPA dan IPS betul-betul merepresentasikan konsep itu?
Sebelum lanjut, gua mau cerita pengalaman kecil gua beberapa waktu yang lalu dicurhatin sama sepupu yang baru aja memutuskan jurusannya. Berhubung sepupu gua ini seneng debat ngikutin perkembangan politik dan ekonomi mancanegara, dia memilih IPS sebagai penjurusan di masa SMA-nya. Setelah sebulan menjalani kegiatan belajar-mengajar, sepupu gue mengeluh bahwa dia selalu dibanjiri dengan pertanyaan sama teman-temannya
“Eh kenapa sih masuk IPS? Padahal kan lo pinter!”
JREENG....!! Nah lho, pernah gak sih lo yang punya nilai akademis oke di jurusan IPS ditanyain hal yang sama? Emangnya kalau sepupu gue pinter, kenapa temen-temennya pada nanyain kenapa dia nggak masuk jurusan IPA? Emang kalau lo pinter harus masuk jurusan IPA, ya? Emangnya anak-anak di jurusan IPS itu nggak sepinter mereka yang di IPA yak?Kalo mau bicara konsep ideal dari tujuan awal pemisahan antara dua rumpun ilmu tersebut, tentu saja jawabannya : nggak dong, anak IPA dan IPS kan punya ranahnya masing-masing. Tapi kalo kita balik ke realita, nggak bisa dipungkiri bahwa emang ada fenomena ganjil dalam dunia pendidikan kita, dimana jurusan IPS dinilai lebih inferior dibandingkan jurusan IPA. Bahkan kalo dibedah, jurusan IPA seolah-olah dipandang sebagai jurusan yang berisi anak-anak yang rajin belajar, suka ngitung, anak baik-baik, pekerja keras, tapi kurang banyak bergaul karena kebanyakan waktunya dihabisin di tempat les/bimbel. Sedangkan anak-anak IPS dipandang sebagai kumpulan anak yang males belajar, tukang main, lebih jago hafalan, punya kemampuan bergaul yang lebih oke dibandingkan dengan anak-anak IPA.
Pandangan seperti ini emang nggak cuma lo doang yang ngerasain di jaman sekarang ini. Miskonsepsi ini sebetulnya udah jadi semacam stigma nggak tertulis selama bertahun-tahun dari generasi ke generasi. So, jangan heran kalo stereotype semacam ini nggak cuma ada di pikiran pelajar SMA, tapi juga sampai ke kalangan orangtua bahkan beberapa guru tertentu. Nah, dalam kesempatan kali ini, gua mau coba ngebahas beberapa miskonsepsi atau pandangan umum yang keliru antara jurusan IPA dengan jurusan IPS. Okay, langsung aja yuk kita mulai pembahasannya:
Mitos #1: Jurusan IPA lebih superior dan bergengsi daripada jurusan IPS.
Penyebab adanya miskonsepsi seperti ini bisa jadi bermacam-macam, dari mulai kualitas soal dan tingkat kesulitan yang jomplang antara pelajaran-pelajaran IPA dengan IPS, kualitas/kemampuan guru IPA dan IPS yang berbeda, sampai gengsi dari kalangan orangtua murid. Hal-hal seperti inilah yang justru secara simultan menguatkan miskonsepsi ini dari waktu ke waktu. Tanpa sadar hal seperti ini yang membentuk stigma terhadap jurusan IPA maupun IPS. Sehingga siswa yang nilai akademisnya oke dituntut untuk masuk ke jurusan IPA, padahal mungkin sebetulnya ketertarikan minat dia adalah topik-topik yang berbau sosial.
Cuma karena gak mau dicap sebagai "anak kurang rajin belajar jadi gak mampu masuk IPA" jadinya milih jurusan yang sebetulnya bukan minat dia. Sebaliknya, siswa yang nilai akademisnya kurang oke jadi terpaksa masuk IPS karena standard nilai untuk masuk penjurusan IPA lebih tinggi daripada jurusan IPS, padahal mungkin sebetulnya minat anak ini lebih suka topik yang berkaitan dengan ilmu alam, cuma karena dia males belajar aja jadi terpaksa masuk IPS.
Nah, menurut gua sih idealnya baik lo yang mau masuk jurusan IPA atau IPS, dua-duanya harus punya standar sendiri-sendiri. Jadi, konsepnya bukan yang gak lulus jurusan IPA, langsung dimasukin ke jurusan IPS. Tapi dilihat dulu, apakah anak tersebut emang layak untuk masuk jurusan IPS atau enggak. Intinya setiap siswa diberikan kebebasan untuk memilih jurusan-nya sesuai dengan minat mereka masing-masing, yang tentu cermin yang paling mudah untuk melihat minat adalah nilai akademis masing-masing pelajaran. Terlepas dari nilai akademis itu, emang sebaiknya penjurusan itu dikembalikan lagi pada keputusan masing-masing siswa.
So, dengan ada standardisasi dan konsep seperti itu, sebetulnya nggak perlu ada tuh jenjang superioritas-inferioritas di antara dua bidang tersebut. Baik IPA maupun IPS sebetulnya sama-sama membutuhkan kompetensi yang berbeda-beda dan setiap pelajar bisa jadi bener-bener jago di bidangnya masing-masing.
Mitos #2 :Anak IPA kuat di hitungan, IPS lebih kuat di hafalan
Nggak ada satu pun pelajaran hitungan di IPA, baik Fisika, Kimia, dan Biologi itu sama sekali bukan pelajaran berhitung. Kalau pun ada yang namanya pelajaran berhitung, yang paling deket itu ya pelajaran Akuntansi, itu pun malah dia lebih pas masuk ke jurusan IPS.
Nggak ada satu pun pelajaran di IPS yang menuntut hafalan, kalo sekarang lo yang di jurusan IPS masih banyak ngehafalin materi pelajaran, berarti cara belajar lo yang keliru. Baik Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, maupun Geografi itu pelajaran yang menuntut pemahaman konseptual yang komprehensif. Sementara kalo lo udah ngerti konsepnya, dengan sendirinya juga lo akan hafal sama istilah-istilah yang digunakan.
Nih ya, gua mau bahas sedikit pembedahan tingkat kecerdasan yang jauh lebih bener daripada pembagian hafalan-hitungan. Berdasarkan Bloom’s Taxonomy, kemampuan manusia dalam domain kognitif terbagi menjadi tiga aspek, yaitu:
Level 1: Knowledge, yang termasuk dalam knowledge adalah pengetahuan kita mengenai fakta-fakta atau terminologi yang spesifik, pengetahuan mengenai metode-metode tertentu, dan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan teori-teori universal.
Level 2: Comprehension, Sedangkan comprehension merupakan kemampuan kognitif yang melibatkan kemampuan untuk memahami konsep, membandingkan konsep, menginterpretasikan suatu fenomena atau abstraksi tertentu, dan dapat menyimpulkan main idea dari pembahasan-pembahasan tertentu.
Level 3: Critical Thinking, terdiri dari beberapa dimensi, yaitu: analysis, evaluation, synthesis.
- Analysis : menguji dan menguraikan informasi dan/atau pengetahuan dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen dari informasi tersebut [misalnya: penyebab, efek, dan prevalensi]
- Evaluation: mengajukan dan mempertahankan opini dengan cara membuat penilaian mengenai informasi dari gagasan berdasarkan dengan kriteria-kriteria tertentu.
- Synthesis: mengumpulkan informasi-informasi terkait suatu gagasan tertentu untuk membuat suatu kesimpulan dan menghasilkan gagasan alternatif
Suatu aktivitas pembelajaran dapat dikatakan efektif dan memberikan manfaat ketika aktivitas tersebut dapat membawa kita ke level 3: kognisi critical thinking. Ketika kita cuma itung-itungan dengan ngehafal rumus, atau tau istilah-istilah dengan cara ngehapal, maka lo hanya sampai ke level kognitif knowledge doang.
Nah untuk bisa belajar dengan cara yang bener, lo justru jangan cuma sampai ke level-1 doang, tapi lo juga dituntut untuk mengolah knowledge itu menjadi level 2: comprehension hingga ke level 3: analysis, evaluation, dan synthesis. Konsep inilah yang selama ini dibahas sama Glenn di artikel sebelumnya tentang perbedaan studying dengan learning.
So, menurut gue, baik ketika lo masuk jurusan IPA ataupun jurusan IPS, hapalan dan itungan itu bukanlah hal yang patut lo pusingin. Justru hal yang harus lo pastikan adalah apakah lo paham dengan apa yang disampaikan oleh guru/apa yang sedang lo pelajarin. Ketika lo udah paham sama suatu konsep, secara otomatis lo akan familiar dengan konsep tersebut, dan tanpa intensi untuk menghafal, lo akan hafal istilah-istilah dan rumus-rumus itu dengan sendirinya. Pas SMA, gue punya prinsip “Yang penting ngerti dulu, kalau hafal mah itu bonus buat gue.”
Mitos #3: Anak IPA itu emang udah seharusnya lebih jago matematika daripada anak IPS
Miskonsepsi ini sebetulnya salah satu yang paling parah, bahkan di terjadi di kalangan guru sekalipun. Lo tau nggak sih kalo sebetulnya matematika ini bukanlah cabang dari bidang IPA [natural science], dan bukan juga IPS [social science]."Lha, bukannya selama ini gua pikir matematika itu identik dengan jurusan IPA?"
Nope. IPA maupun IPS adalah science. Maksudnya science, itu artinya ilmu mempelajari hal yang konkrit, sedangkan matematika itu adalah ilmu abstrak, bukan konkrit. Jadi sekali lagi, matematika itu bukan science
Istilah science artinya kita mempelajari ilmu yang bisa diamati dan bisa direpresentasikan dalam dunia nyata, pembuktiannya disebut dengan evidence. Sedangkan inti dari matematika itu adalah abstract modeling dari logika dimana pembuktiannya biasa disebut dengan proof. Jadi matematika merupakan ilmu pengetahuan murni yang bersifat abstrak dan dia bisa berdiri sendiri tanpa sokongan ilmu-ilmu lain.
So, Matematika itu sama sekali nggak identik sama hitungan apalagi jurusan IPA. Matematika itu gak nyambung sama sekali sama ilmu alam maupun hitungan. Jadi sebetulnya baik jurusan IPA maupun IPS harus sama-sama menguasai pelajaran matematika dengan baik, karena konsep-konsep dasar dari matematika bisa diterapkan untuk membantu cabang-cabang ilmu lainnya dalam proses pengembangan ilmu tersebut.
Mitos #4: Anak IPA bisa masuk semua jurusan kuliah, anak IPS cuma bisa soshum
Ketika gue SBMPTN, banyak temen gue yang ngeluh karena anak-anak IPA dianggap sering “mengambil lahan” anak-anak IPS ketika memasuki jurusan-jurusan pas mau kuliah.
Sebetulnya sih, hal ini ada benernya juga, mengingat banyak banget anak-anak yang dulunya berada di jurusan IPA tapi pas SBMPTN ngambil jurusan IPC supaya bisa ambil jurusan IPS pas kuliahnya. Termasuk gue juga dari jurusan IPA emang akhirnya milih ngambil Psikologi di UI, hehe..
Terus biasanya kalo anak-anak IPA yang ngambil IPC ada yang lulus pas SBMPTN-nya dalam ngambil jurusan seperti Psikologi, Ekonomi, atau Hubungan Internasional, langsung pada menggerutu seperti ini.
"Halah anak IPA kenapa sih masih ngerebut aja lahan anak IPS!? Padahal kan mereka udah punya jurusannya sendiri, kenapa gak dari awal aja kalo gitu mereka ambil jurusan IPS? Mereka kan pinter-pinter jadi gampang aja kalo mau ngambil soshum, sedangkan kita yang di IPS kan gak bisa segampang itu ngambil jurusan IPA."
Nggak sedikit juga lho, lo ngedengerin komentar seperti ini, terutama nanti begitu lo yang di kelas 12 SMA udah mulai mikirin jurusan kuliah. Sebenernya sikap seperti ini mungkin lo anggep sebagai celotehan biasa aja, tapi jangan salah lho. Sikap seperti ini tuh bisa diterjemahkan sebagai sikap inferior yang juga berperan menambah pupuk paradigma yang salah tentang pembagian IPA maupun IPS.
Kita semua sebetulnya juga tau kan, kalo jurusan IPA mupun jurusan IPS sebetulnya bisa aja kok daftar IPC pas SBMPTN. Tinggal seberapa niat aja lo belajar sebelum SBMPTN dan seberapa siap elo untuk ngehadapin persaingan untuk mendapatkan jurusan di universitas tersebut. Jadi seharusnya nih, baik jurusan IPA maupun IPS ya kembali pada kompetisi yang fair dan sejajar sebagai sesama intelektual muda untuk bisa mendapatkan jurusan kuliah dan universitas yang diinginkan.
So, in the end, gue cuma mau nekenin kalau sebenernya IPA dan IPS itu bukanlah dua disiplin ilmu yang berlainan satu sama lain, bukan juga dua disiplin ilmu yang berada di satu kontinum yang sama [maksudnya gak bisa dibandingin kalo ilmu X lebih baik dari pada ilmu Y]. Setiap cabang ilmu pengetahuan menurut gue memiliki landasan berpikir masing-masing tapi ilmu-ilmu tersebut juga bisa terintegrasi satu sama lain dalam menjelaskan segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Pemisahan antara "alam" dan "sosial" sebetulnya hanyalah simplifikasi dan label untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut pandang tertentu.
Misalnya gini deh, ketika kita meninjau kembali tentang fenomena wabah Black Death yang terjadi di Eropa pada abad 14, kita bisa meninjau fenomena ekstrim ini dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu. Buat lo yang belum tau, Black Death merupakan pandemi [wabah penyakit] pertama di dunia, dengan total kematian diperkirakan hingga 200 juta jiwa! [itu hampir sama banyaknya dengan jumlah populasi penduduk Indonesia sekarang lho].
Penyebabnya cuma bakteri yang namanya Xenopsylla cheopis. Hal ini mungkin bisa ditinjau dari sudut pandang biologi tentang bagaimana wabah ini menyebar dengan sistem parasit 2 level. Tikus [Rattus ratus] yg diparasiti oleh Pinjal [Xenopsylla cheopsis] dan diparasiti lagi oleh bakteri pes [Yersinia pestis]. Tapi, fenomena ini juga bisa ditinjau dari sudut pandang lain seperti perubahan sosiologi masyarakat Eropa yang berubah drastis. Sampai dalam sudut pandang politik dengan mulai dari berkurangnya kepercayaan terhadap otoritas Kerajaan Roma.
Nah, dari contoh fenomena wabah Black Death yang gua sedikit kupas di atas, kita jadi punya gambaran komprehensif terkait fenomena-fenomena tertentu di lingkungan kita dengan melihat dari berbagai macam sudut pandang, baik segi alam maupun sosial.
Selain itu, kita juga bisa mengambil kesimpulan yang tepat terkait suatu fenomena kalau kita bisa menganalisisnya dari berbagai sudut pandang dan memilih sudut pandang mana yang paling pas dan bisa menjelaskan fenomena-fenomena yang kita analisis.
Akhir kata pesen gua cuma satu, bahwa sebetulnya yang namanya ilmu itu gak bisa kita kategoriin sebagai IPA atau IPS, itu sebetulnya cuma label agar memudahkan untuk dipelajari doang. Karena pada hakikatnya, alam semesta ini bekerja dan berinteraksi dalam satu kesatuan sebagaimana adanya kita lihat sekarang ini, dan pembagian ilmu itu hanyalah penalaran kita untuk memudahkan cara kita memandang suatu fenomena yang terjadi.
Keterangan Sumber :
- Huitt, W. [2004]. Bloom et al.'s taxonomy of the cognitive domain. Educational Psychology Interactive, 22.
- Carey, S. [2009], "Where our number concepts come from", Journal of Philosophy 106 [4]: 220–254
- [https://www.zenius.net/blog/5483/jurusan-ipa-ips-saintek-soshum]
CATATAN EDITOR
Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi atau mau sharing pengalaman lo jadi anak IPA atau IPS, gak usah malu-malu langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini.
Kalo ada di antara kamu yang mau ngobrol atau diskusi atau mau sharing pengalaman lo jadi anak IPA atau IPS, gak usah malu-malu langsung aja tinggalin comment di bawah artikel ini.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Masih menganggap matematika hanya hitung-hitungan semata, mari kita lihat kreativitas siswa ini;
Belum ada Komentar untuk "Milih Jurusan IPA atau Jurusan IPS"
Posting Komentar