Kumpulan Puisi Toto Sudarto Bachtiar LENGKAP
IBUKOTA SENDJA
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951
RIWAJAT
Tiang agung tersambar halilintar
patah ditengah-tengah
kapitan pingsan diatas peta benua
penuh pahatan darah
Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
bernjanji: Cherchez la femme, cherchez la femme
Kapal masih djauh dari daratan
Kelumit pahit mengganti gema jang hilang
Sedjak seputaran hidup kapitan membasuh darah
dan pelabuhan telandjang dihaluan
Gema jang hilang mulai pulang
Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
terus bernjanji ditimang angin:
Cherchez la femme, cherchez la femme
Kapitan memahatkan darah
dipintu pelabuhan pertama dan mendoa:
Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite
1952
PADA SANGKALA
Akan selalu terdengar keluh pandjang terhadapmu
Gangguan jang selalu membatas arwah kami
Akan selalu terdengar kutuk hina terhadapmu
Karena bersekutu dengan jang kami bentji
Mana ada sempat, bitjara dengan diri sendiri
Kapan akan terdengar suara djiwa, suara sanubari
Kepunjaanku, kepunjaan mereka bersama
Kami sesak karena djangkauan tanganmu
Bila kita terdjebak olehmu
Kami tak sempat memilih kata pisah sebaik-baiknja
Begitu terang djalan jang menudju keruntuhan
Begitu kelam dunia jang kami hadapi
Kau tak tahu bagaimana merasakan
Tingkat demi tingkat diatas tangga
Talu-bertalu paku jang menembus tubuh
Apa arti darah dan gairah hidup
Seandainja kamu tak ada didunia kami
Kamipun tak tahu dimensi keempat dan djalan
Tapi akan selalu terdengar olehmu
Keluh pandjang dan kutuk jang paling hina
1955
PERNJATAAN
kepada C.A.
Aku makin mendjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali
Laut-laut makin terbuka
Dibawah langit remadja biru pengap melanda
Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup
Tanpa kehendak biar sajup?
Berkata tentang diri sendiri
Berkatja dan kembali berlari?
Balai malam jang gugup
Mendjadi saksi kita berdua
Terhadap makna dan kata-kata
Jang hidup dalam hidup keras berdegup
1955
KAKILANGIT
Jang sampai dimalam bisu
Desah jang mendjadi kalimat terachir
Untuk tekebur dan menolak kedjang lupa
O, kekasih biarpun jang dimana
Dari putus asa sampai lapar putus asa
Kugamit suaraku sendiri
Sampai tak ada jang mendengar
Kemudian. Sampai menemukan sebuah nama:
Jang memantulkan katja: Terlintas bajang-bajang
Sendiri diatas runtuhan
Keruntuhan adalah djedjak tjinta! Tunggu!
1953
TENTANG KEMERDEKAAN
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja
Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja
Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja
1953
PEKARANGAN
Tjinta. Engkau jang sudah sekali datang masuklah
Menjatu diri dengan irama tanpa tepi
Laut jang selalu mengalir, malam tiada berachir
Tjumbu hidup nafas kotaku jang kekal
Dimana angin sangsai tak menghambat tjeritera
Berupa bisik tjintaku masa depan
Serta perempuan-perempuan tahu mengapa
Berharap larut dahaga pada malam-malam sengsara
Dimana pula dalam arti dosa dirumah derai airmata
Redup bulatan djedjakku, redup keruntuhan bajang tjintaku
Menahan dendam melulur sepandjang hari
Dalam nafas kotaku yang kekal selalu!
1953
SUARA
Kapan ada sesuatu, ialah kamarku didalam
Suara penutup paling djauh telah membawa bunji
Sedang kubuat lagi djelaga diri semesta
Dilorong-lorong kelam kotaku Djakarta
Nafsu ialah bandingan suara dan djelaga
O, perempuan-perempuan jang tak tahu bahasa
Arti agung jang mendukung dukana!
O, tingkap tertutup sebelum membuka!
Sekali ini tak ingin lagi kutjari diriku
Kapan lagi hudjan sepi dan bisu
Hingga kapanpun, bila masih ada pertjaja
Pertjajalah pada hubungan jang lama
1953
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun jang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah lubang peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannja memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sajang
Wadjah sunji setengah tengadah
Menangkap sepi padang sendja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hudjanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnja
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi jang nampak, wadjah-wadjahnja sendiri jang tak dikenalnja
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata: aku sangat muda
1953
KETERANGAN
H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanjalah nisan kata-katanja selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur
Terkadang kalau dia mau
Tulisannja hanja nasib djari jang lemah
Terkadang dia merasa aneh
Kalau anak bisa merasa kehilangan sesuatu
Seperti aku, dimana kata tak tjukup buat berkata
Tertelungkup dibawah bakaran lampu seharian bernjala
Terkadang djemu terus melihat matahari
Pesiar, tanpa kawan berkedjaran
Tanpa merasa tahu tentang apa
Dia menjeret langkahnja
Sampai dimana dia akan tiba
Tapi dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak
1955
DUNIA SEBELUM TIDUR
Kenangan mati bagi jang mati
Hormat bagi jang hidup setiakan derita
Ulurkan tanganmu
Sangkutkan sepatu pada kaki berdebu
Dan mimpilah merenung djendela terbuka
Nun adalah dunia dosa, duniaku sajang
Aku berpihak padamu
Kau ingin dengar
Suara angin menghembus kamar
Udjung ketenteraman samar-samar
Dada bertemu dada
Kami bersandar kepadanya
Betapa terkenang, betapa tenang
Bintik hitam dalam dunia jang gelisah
Kenangan hidup hanja bagi jang hidup
Bingkis tjahja
Dalam musim jang segera matang
Menghalau degup rongga berudara sedih
Djari-djari penanggalan
Telah lama
Terlalu lama mengandung topan
1954
FOCUS
untuk Sitor Situmorang
Kalau djarum kematian menusuk detak hati
Aku akan mendjadi asing sendiri
Sangat berarti djeritan jang menolak berpisah
Bisik jang mendera dan mentjinta gerak djantung hari
Ah, akan tertinggal maknaku pada waktu
Bersama ketjintaanku
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia
Hati akan tinggal ubun hati
Kemerahan jang mau menandingi matahari
Panas bulan Djanuari
Punya tanja dan kasih sendiri
Karena djarum yang menikam, detak hati djadi membisu
Terpaksa kuasingkan matahari dan ada jang kuberi salam
Djalinan bisik dan kesan jang berkata sendiri
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia
1953
ODE I
Kutanya, kalau sekarang aku harus berangkat
Kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
Aku besok bisa mati. Kemudian diam-diam
Aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam
Malam begini beku, di manakah tempat terindah
Buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
Tanahku yang baru terjaga
Malam begini sepi, di manakah tempat terbaik
Buat peluru pistol di balik baju cabik
O, tanah di mana mesra terpendam rindu
Kemerdekaan yang mengembara ke mana saja
Ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
Engkau pada pilar derita, megap nafasku di gang tua
Menuju kubu musuh di kota sana
Aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak
Mungkin pacarku kan berpaling
Dari wajahku yang terpaku pada dinding
Tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
Di tengah malam yang begini beku
Teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
Coretan-coretan merah pada tembok tua
Betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
Membesarkan hatimu yang baru terjaga
Kalau sekarang aku harus pergi, aku hanya tahu
Kawan-kawanku akan terus maju
Tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah, di mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku
PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara
Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia
Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan kari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati
AU REVOIR
Pada waktu itu, pada hati waktu
Yang mengandung gelita yang membatu
Burung hantu dan malam
Yang gelisah bagai serdam alam
Bersama kemerdekaan yang terus mengelana
Detik demi detik membebankan nasib dengan bencana
O, terasa nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara
Menajamkan sanggurdi bagi pemacu jalanan!
ETSA
Suara kasih dalam hati malam
Kian lincah, tapi kemudian membeku
Tanpa bulan, karena bulan beradu
Dan hatiku sendiri kian terbenam
KAWAN
Biasanya dia berjalan malam-malam
Menggigil karena angin terlalu tajam
Orang-orang memandangnya dengan membelalak
Tapi aku tidak
Apa yang tak memikatnya sampai ke hati
Lampu dan bintang-bintang menyala tinggi
Matanya sayu membelai semua yang berjalan
Perempuan-perempuan, anak-anak berkejaran
Kalau malam putus asa tambah menurun
langkahnya pun bertambah berat berembun
Kadang-kadang dia berhenti, melihat padaku
Kami sama-sama tersenyum pahit pilu
Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata
DANAU M
(untuk Bahar)
Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini
Juga paras danau
Yang tepinya tak kelihatan
Sangat lajunya sekunar berkejaran
Burung-burung terbang siang hari
Air gemersik perlahan meninggalkan daunan
Ada daunan layu serba 'kan gugur
Yang dahannya langsing melentur-lentur
Semuanya mengacu padaku
Dan sampai pada jamahan tiada berupa
Hidupnya perasaanku pagi ini
Tapi hidupku tak hidup di sini
JENDELA
Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar pipimu yang merah tersipu
Alangkah beratnya rindu
Pada jendela berdetik-detik air hujan
Kutahu pasti kau akan tiba
Tak usah memandangku penuh hiba
Aku ingin tahu apa aku bisa pergi selamanya
Tak usah juga engkau menampikku
Karena aku pun sedia pergi
Menuju arah di mana musim-musimnya bisu
Buat selamanya
TEGAK
Antara ada dan tiada
Yang kutahu diriku hanya
Memandang lantun tertinggi hidup kita
Betapa juga pendeknya ...
Cinta, riah musim yang debar-debar jantungnya
Sangat tambah mesra ajakannya
Bersolek di atas cahaya matamu
Betapa sibuknya kupandang sekali
Juga alangkah sibuknya cinta dan kerja
Asyik menghitung satu dua tiga tiada habisnya
Tapi bisa terbengkalai sebab sepi yang datang
Antara ada dan tiada
MUKA
Pada kaca jendela kulihat wajahku
Berat bersinar matinya yang akan tiba
Sangat dekat nafas usia, tapi tak teraba
Tapi aku betul tahu, dia memang wajahku
TANGAN DALAM KELAM
Tangan halus yang bisa merabaku dari jauh
Jadi tangan bisik yang mengulur belas padaku
Tangan mesra yang jari-jarinya sayang
Aku sangat rindu kepadanya
Kalau hidup mengandung neraka
Hendaklah hidupku ini saja
Tanpa hidup orang-orang lain yang baik
Yang tangannya jauh tak berdaya
Tangan halus yang bisa dari jauh cinta padaku
Cukup baik untuk memegangnya
Ah, dunia dosa
Aku kembali bermimpi tentangmu
Takut tanpa ujung karna hidup terlalu cinta
Jari-jariku ingin mengurai wajahnya
Tanpa kaku, tanpa terlena tidur
Karena kantuk semangatku jadi kendur
Tangan yang mengulur mesra kepadaku
Wahai dunia yang gaungnya kudengar
Apa arti jari-jari yang terkulai lapar
Biar dia melambai kepadaku
JEMBATAN TUA
Sudah begitu lama, masih juga aku lalu
Berapa banyak kaki telanjang dan bersepatu
Menggetarkan tangan-tangannya
Yang siang begitu menyala dan malam begitu biru
Bergandengan tangan kadang sepasang merpati
Melambatkan langkahnya dan kemudian berhenti
Waktu memandang ke bawah air bisu mengerdipkan matanya
Berlaksa mimpi menemukan matinya yang indah di sana
Awan yang lena terkaca di atasnya
Sarat mengandung muatan mendungku ini
Tergila-gila memang hatiku yang banyak meminta
Tanpa sebab, dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja
Tetapi selalu, kalau aku di sana, aku mendengarnya
Suara yang tak habis-habisnya sampai
Kalau engkau sekali menjadi setuaku
Nasibmu mungkin lebih baik dari padaku
GADIS PEMINTA-MINTA
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang
Duniamu yang lebih tinggi
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukamu
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda Sumber http://www.guruberbahasa.com/
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951
RIWAJAT
Tiang agung tersambar halilintar
patah ditengah-tengah
kapitan pingsan diatas peta benua
penuh pahatan darah
Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
bernjanji: Cherchez la femme, cherchez la femme
Kapal masih djauh dari daratan
Kelumit pahit mengganti gema jang hilang
Sedjak seputaran hidup kapitan membasuh darah
dan pelabuhan telandjang dihaluan
Gema jang hilang mulai pulang
Kelasi tjuma tarik tali dan pukul tifa
terus bernjanji ditimang angin:
Cherchez la femme, cherchez la femme
Kapitan memahatkan darah
dipintu pelabuhan pertama dan mendoa:
Cherchez la personnalite, cherchez la personnalite
1952
PADA SANGKALA
Akan selalu terdengar keluh pandjang terhadapmu
Gangguan jang selalu membatas arwah kami
Akan selalu terdengar kutuk hina terhadapmu
Karena bersekutu dengan jang kami bentji
Mana ada sempat, bitjara dengan diri sendiri
Kapan akan terdengar suara djiwa, suara sanubari
Kepunjaanku, kepunjaan mereka bersama
Kami sesak karena djangkauan tanganmu
Bila kita terdjebak olehmu
Kami tak sempat memilih kata pisah sebaik-baiknja
Begitu terang djalan jang menudju keruntuhan
Begitu kelam dunia jang kami hadapi
Kau tak tahu bagaimana merasakan
Tingkat demi tingkat diatas tangga
Talu-bertalu paku jang menembus tubuh
Apa arti darah dan gairah hidup
Seandainja kamu tak ada didunia kami
Kamipun tak tahu dimensi keempat dan djalan
Tapi akan selalu terdengar olehmu
Keluh pandjang dan kutuk jang paling hina
1955
PERNJATAAN
kepada C.A.
Aku makin mendjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali
Laut-laut makin terbuka
Dibawah langit remadja biru pengap melanda
Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup
Tanpa kehendak biar sajup?
Berkata tentang diri sendiri
Berkatja dan kembali berlari?
Balai malam jang gugup
Mendjadi saksi kita berdua
Terhadap makna dan kata-kata
Jang hidup dalam hidup keras berdegup
1955
KAKILANGIT
Jang sampai dimalam bisu
Desah jang mendjadi kalimat terachir
Untuk tekebur dan menolak kedjang lupa
O, kekasih biarpun jang dimana
Dari putus asa sampai lapar putus asa
Kugamit suaraku sendiri
Sampai tak ada jang mendengar
Kemudian. Sampai menemukan sebuah nama:
Jang memantulkan katja: Terlintas bajang-bajang
Sendiri diatas runtuhan
Keruntuhan adalah djedjak tjinta! Tunggu!
1953
TENTANG KEMERDEKAAN
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Djanganlah takut kepadanja
Kemerdekaan ialah tanah air penjair dan pengembara
Djanganlah takut kepadanja
Kemerdekaan ialah tjinta salih jang mesra
Bawalah daku kepadanja
1953
PEKARANGAN
Tjinta. Engkau jang sudah sekali datang masuklah
Menjatu diri dengan irama tanpa tepi
Laut jang selalu mengalir, malam tiada berachir
Tjumbu hidup nafas kotaku jang kekal
Dimana angin sangsai tak menghambat tjeritera
Berupa bisik tjintaku masa depan
Serta perempuan-perempuan tahu mengapa
Berharap larut dahaga pada malam-malam sengsara
Dimana pula dalam arti dosa dirumah derai airmata
Redup bulatan djedjakku, redup keruntuhan bajang tjintaku
Menahan dendam melulur sepandjang hari
Dalam nafas kotaku yang kekal selalu!
1953
SUARA
Kapan ada sesuatu, ialah kamarku didalam
Suara penutup paling djauh telah membawa bunji
Sedang kubuat lagi djelaga diri semesta
Dilorong-lorong kelam kotaku Djakarta
Nafsu ialah bandingan suara dan djelaga
O, perempuan-perempuan jang tak tahu bahasa
Arti agung jang mendukung dukana!
O, tingkap tertutup sebelum membuka!
Sekali ini tak ingin lagi kutjari diriku
Kapan lagi hudjan sepi dan bisu
Hingga kapanpun, bila masih ada pertjaja
Pertjajalah pada hubungan jang lama
1953
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Sepuluh tahun jang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah lubang peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannja memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sajang
Wadjah sunji setengah tengadah
Menangkap sepi padang sendja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hudjanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnja
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi jang nampak, wadjah-wadjahnja sendiri jang tak dikenalnja
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sajang
Sebuah peluru bundar didadanja
Senjum bekunja mau berkata: aku sangat muda
1953
KETERANGAN
H.B. Jassin. Dimana berachirnja mata seorang penjair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanjalah nisan kata-katanja selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur
Terkadang kalau dia mau
Tulisannja hanja nasib djari jang lemah
Terkadang dia merasa aneh
Kalau anak bisa merasa kehilangan sesuatu
Seperti aku, dimana kata tak tjukup buat berkata
Tertelungkup dibawah bakaran lampu seharian bernjala
Terkadang djemu terus melihat matahari
Pesiar, tanpa kawan berkedjaran
Tanpa merasa tahu tentang apa
Dia menjeret langkahnja
Sampai dimana dia akan tiba
Tapi dengan djari kakinja ditulisnja sebuah sadjak
1955
DUNIA SEBELUM TIDUR
Kenangan mati bagi jang mati
Hormat bagi jang hidup setiakan derita
Ulurkan tanganmu
Sangkutkan sepatu pada kaki berdebu
Dan mimpilah merenung djendela terbuka
Nun adalah dunia dosa, duniaku sajang
Aku berpihak padamu
Kau ingin dengar
Suara angin menghembus kamar
Udjung ketenteraman samar-samar
Dada bertemu dada
Kami bersandar kepadanya
Betapa terkenang, betapa tenang
Bintik hitam dalam dunia jang gelisah
Kenangan hidup hanja bagi jang hidup
Bingkis tjahja
Dalam musim jang segera matang
Menghalau degup rongga berudara sedih
Djari-djari penanggalan
Telah lama
Terlalu lama mengandung topan
1954
FOCUS
untuk Sitor Situmorang
Kalau djarum kematian menusuk detak hati
Aku akan mendjadi asing sendiri
Sangat berarti djeritan jang menolak berpisah
Bisik jang mendera dan mentjinta gerak djantung hari
Ah, akan tertinggal maknaku pada waktu
Bersama ketjintaanku
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia
Hati akan tinggal ubun hati
Kemerahan jang mau menandingi matahari
Panas bulan Djanuari
Punya tanja dan kasih sendiri
Karena djarum yang menikam, detak hati djadi membisu
Terpaksa kuasingkan matahari dan ada jang kuberi salam
Djalinan bisik dan kesan jang berkata sendiri
Lintasan hidup jang kena tjahaja
Gerak jang mewarnai manusia
1953
ODE I
Kutanya, kalau sekarang aku harus berangkat
Kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
Aku besok bisa mati. Kemudian diam-diam
Aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam
Malam begini beku, di manakah tempat terindah
Buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
Tanahku yang baru terjaga
Malam begini sepi, di manakah tempat terbaik
Buat peluru pistol di balik baju cabik
O, tanah di mana mesra terpendam rindu
Kemerdekaan yang mengembara ke mana saja
Ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
Engkau pada pilar derita, megap nafasku di gang tua
Menuju kubu musuh di kota sana
Aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak
Mungkin pacarku kan berpaling
Dari wajahku yang terpaku pada dinding
Tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
Di tengah malam yang begini beku
Teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
Coretan-coretan merah pada tembok tua
Betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
Membesarkan hatimu yang baru terjaga
Kalau sekarang aku harus pergi, aku hanya tahu
Kawan-kawanku akan terus maju
Tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah, di mana tempat yang terbaik buat hati dan jiwaku
PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara
Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia
Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan kari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati
AU REVOIR
Pada waktu itu, pada hati waktu
Yang mengandung gelita yang membatu
Burung hantu dan malam
Yang gelisah bagai serdam alam
Bersama kemerdekaan yang terus mengelana
Detik demi detik membebankan nasib dengan bencana
O, terasa nyaman mengenang jalan-jalan di luar penjara
Menajamkan sanggurdi bagi pemacu jalanan!
ETSA
Suara kasih dalam hati malam
Kian lincah, tapi kemudian membeku
Tanpa bulan, karena bulan beradu
Dan hatiku sendiri kian terbenam
KAWAN
Biasanya dia berjalan malam-malam
Menggigil karena angin terlalu tajam
Orang-orang memandangnya dengan membelalak
Tapi aku tidak
Apa yang tak memikatnya sampai ke hati
Lampu dan bintang-bintang menyala tinggi
Matanya sayu membelai semua yang berjalan
Perempuan-perempuan, anak-anak berkejaran
Kalau malam putus asa tambah menurun
langkahnya pun bertambah berat berembun
Kadang-kadang dia berhenti, melihat padaku
Kami sama-sama tersenyum pahit pilu
Aku tak perlu tahu dia siapa
Tapi kami pernah sama mencintai malam
Aku dan dia tak ada bedanya
Hidup keras indah menari depan mata
DANAU M
(untuk Bahar)
Serasa pernah kukenal gunung-gunung ini
Juga paras danau
Yang tepinya tak kelihatan
Sangat lajunya sekunar berkejaran
Burung-burung terbang siang hari
Air gemersik perlahan meninggalkan daunan
Ada daunan layu serba 'kan gugur
Yang dahannya langsing melentur-lentur
Semuanya mengacu padaku
Dan sampai pada jamahan tiada berupa
Hidupnya perasaanku pagi ini
Tapi hidupku tak hidup di sini
JENDELA
Dulu kutengok lagi dari sana, mungkin kau datang
Kebetulan tirai tersingkap angin pagi yang lantang
Mengantar pipimu yang merah tersipu
Alangkah beratnya rindu
Pada jendela berdetik-detik air hujan
Kutahu pasti kau akan tiba
Tak usah memandangku penuh hiba
Aku ingin tahu apa aku bisa pergi selamanya
Tak usah juga engkau menampikku
Karena aku pun sedia pergi
Menuju arah di mana musim-musimnya bisu
Buat selamanya
TEGAK
Antara ada dan tiada
Yang kutahu diriku hanya
Memandang lantun tertinggi hidup kita
Betapa juga pendeknya ...
Cinta, riah musim yang debar-debar jantungnya
Sangat tambah mesra ajakannya
Bersolek di atas cahaya matamu
Betapa sibuknya kupandang sekali
Juga alangkah sibuknya cinta dan kerja
Asyik menghitung satu dua tiga tiada habisnya
Tapi bisa terbengkalai sebab sepi yang datang
Antara ada dan tiada
MUKA
Pada kaca jendela kulihat wajahku
Berat bersinar matinya yang akan tiba
Sangat dekat nafas usia, tapi tak teraba
Tapi aku betul tahu, dia memang wajahku
TANGAN DALAM KELAM
Tangan halus yang bisa merabaku dari jauh
Jadi tangan bisik yang mengulur belas padaku
Tangan mesra yang jari-jarinya sayang
Aku sangat rindu kepadanya
Kalau hidup mengandung neraka
Hendaklah hidupku ini saja
Tanpa hidup orang-orang lain yang baik
Yang tangannya jauh tak berdaya
Tangan halus yang bisa dari jauh cinta padaku
Cukup baik untuk memegangnya
Ah, dunia dosa
Aku kembali bermimpi tentangmu
Takut tanpa ujung karna hidup terlalu cinta
Jari-jariku ingin mengurai wajahnya
Tanpa kaku, tanpa terlena tidur
Karena kantuk semangatku jadi kendur
Tangan yang mengulur mesra kepadaku
Wahai dunia yang gaungnya kudengar
Apa arti jari-jari yang terkulai lapar
Biar dia melambai kepadaku
JEMBATAN TUA
Sudah begitu lama, masih juga aku lalu
Berapa banyak kaki telanjang dan bersepatu
Menggetarkan tangan-tangannya
Yang siang begitu menyala dan malam begitu biru
Bergandengan tangan kadang sepasang merpati
Melambatkan langkahnya dan kemudian berhenti
Waktu memandang ke bawah air bisu mengerdipkan matanya
Berlaksa mimpi menemukan matinya yang indah di sana
Awan yang lena terkaca di atasnya
Sarat mengandung muatan mendungku ini
Tergila-gila memang hatiku yang banyak meminta
Tanpa sebab, dalam terowongan perjalanan yang akan sebentar saja
Tetapi selalu, kalau aku di sana, aku mendengarnya
Suara yang tak habis-habisnya sampai
Kalau engkau sekali menjadi setuaku
Nasibmu mungkin lebih baik dari padaku
GADIS PEMINTA-MINTA
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemanjaan riang
Duniamu yang lebih tinggi
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu murni
Untuk bisa membagi dukamu
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda Sumber http://www.guruberbahasa.com/
Belum ada Komentar untuk "Kumpulan Puisi Toto Sudarto Bachtiar LENGKAP"
Posting Komentar