Aku Korban Kekerasan Guruku
Dapat cerita inspiratif yang di share lewat media sosial WhatsApp, yang sudah menjadi alat komunikasi sejuta umat saat ini. Sebuah catatan baik [*bahkan sangat baik] yang bisa kita jadikan catatan sebagai seorang guru, sebagai seorang siswa, terlebih lagi sebagai orangtua. Mudah-mudahan cerita ini mempunyai feedback yang positif juga kepada masyarakat banyak, atau sedikit banyaknya dengan harapan dapat memperbaiki kualitas "kids zaman now".
Perkenalkan, aku Indah. Lulusan terbaik Universitas Negeri Jakarta.
Kapan aku duduk di bangku SD? Pada masa teknologi masih Radio dengan antena, dan Televisi masih hitam putih dikeroyok semut.
Aku korban kekerasan guru sejak kelas tiga SD. Masih segar di ingatan, wali kelasku, Pak Yunus, berteriak marah, “hey, kamu! Maju ke depan kelas!” Dengan wajah menantang aku berdiri, menghampiri beliau.
“Selesaikan soal ini!” Lelaki empat puluh tahun itu memukul papan tulis dengan penggaris kayu. “Salah sedikit saja, habis kamu!” Aku dengan yakin mengerjakan soal matematika yang ia berikan.
“Sudah, Pak.” Aku berseru dengan sombong. Yakin kalau jawabanku pasti benar.
Tapi ….
Plak …! Penggaris dengan panjang satu meter itu mendarat di tubuh bagian belakangku. “Kamu perempuan, tapi bengal minta ampun! Duduk!” Aku kembali ke kursi sambil mengusap bagian yang sakit.
Di lain kesempatan, saat aku kelas lima, aku di panggil wali kelas dua, guru wanita yang terkenal killer, kejam dan suka menghukum. Namanya Bu Hernita. Matanya menakutkan, selalu membawa rotan di tangannya.
“Indah, kamu tadi memukul siswa kelas dua. Betul?” Aku biasanya selalu berani menghadapi guru, tapi hari itu, aku tertunduk takut. “Jawab…!” Wanita itu berteriak sambil memukul meja.
Aku benar-benar mati gaya waktu itu. Darah premanku menghilang. Padahal aku sudah sering dipanggil guru, tapi selalu selamat dari guru satu ini. Tapi kali ini, sepertinya adalah hari sialku.
“Kemari…!” Tanganku di tarik mendekat, “kepalkan tanganmu!” Aku menuruti, dan tiga puluh pukulan mendarat di kepalan tangan kecilku. Menangis? Ya, aku menangis, tentu saja, kalian boleh mencobanya, kalau tidak percaya, rasanya sakit!
“Aku akan laporkan pada ayahku!” Aku menangis dan berteriak, mengambil tas di kelas dan berlari pulang.
Tiba di rumah, aku menceritakan semuanya dengan jujur. Apa tanggapan ayahku? Dia menggandeng tanganku, dan kembali ke sekolah. Aku tersenyum penuh kemenangan.
“Rasakan ….” kataku dalam hati.
Tapi … tiba di sekolah, Ayah menghampiri Bu Hernita, dan berkata, “hukum dia lebih keras lagi, Bu, karena dia tidak sadar apa kesalahannya.” Ayah meraih penggaris dan memukul tanganku berulang kali. Dan Bu Hernita menghentikan tindakan Ayah. “Di sekolah, hanya kami yang boleh menghukum. Bapak boleh pulang…!” tegas Bu Hernita.
Setelah Ayah pulang, Bu Hernita membawaku ke lapangan. Mengumpulkan semua siswa.
“Dengar semuanya! Mulai hari ini, Ibu tidak mau ada yang berteman dengan Indah … kalau ada yang berteman, akan Ibu hukum! Faham?” Tatapan Bu Hernita beralih padaku, “dan kamu, kalau masih bersikap seperti ini. Ibu akan keluarkan kamu dari sekolah!” Kemudian beliau berlalu begitu saja.
Terhitung sejak hari itu, aku tidak memiliki satu orang teman pun. Semua teman menjauh setiap kali aku mendekat.
Aku sudah kelas lima menuju kelas enam waktu itu, usiaku bukan balita lagi. Aku sudah remaja, seharusnya sikapku tak seburuk itu.
Sampai pada puncak yang membuat aku terpukul lebih keras dari pukulan Bu Hernita, sore itu sepulang sekolah aku di panggil kepala sekolah. Saat aku masuk, ada Bu Hernita di sana.
“Indah, nilai kamu sejak kelas satu tidak buruk. Kelas satu sampai kelas dua, kamu selalu juara umum. Apa kamu tidak bertanya-tanya, kenapa di kelas tiga sampai kelas lima kamu tidak juara?” Kepala sekolah ku bernama Pak Sudirman, orangnya sangat lembut. Berbicara dengan penuh kasih sayang, “nilai kamu masih tinggi. Bahkan lebih tinggi dari peraih juara umum kita. Tapi perilaku kamu ini, yang membuat nilai angka rapormu tidak ada gunanya.”
Aku tertunduk, Bu Hernita mengusap kepalaku. “Kemari, dengarkan Ibu.” Jujur baru sekali itu aku melihat Bu Hernita selembut kapas berbicara padaku.
“Kamu tahu, Ndah? Apa yang paling berguna? Bukan angka-angka di rapor itu. Melainkan … ini.” Tangan beliau menyentuh dadaku. Aku sudah remaja waktu itu, dan sudah sangat memahami maksud beliau. Bagaimana rasanya? Malu! Ingin menangis, tapi tidak bisa. Jadinya? Sesak di dada!
“Begini, apa Ndah mau berubah? Karena kalau Ndah seperti ini terus, sekolah tidak akan meluluskan.” Aku melihat ke arah Bu Hernita, aku tahu beliau serius.
“Mau berubah?” Bisik beliau pelan. Aku mengangguk. Pelan.
“Ndah janji, Ndah berubah, Bu. Ndah janji gak nakal lagi!”
Sejak hari itu, aku adalah Indah yang baru. Aku terlahir menjadi pribadi yang berbeda. Dan benar saja, saat kelas enam, aku kembali meraih juara umum.
Aku lulus tes dengan nilai terbaik di SMP favorit. Juga masuk dan lulus SMA dengan nilai yang masih sangat memukau, hingga aku berhasil meraih beasiswa sampai menyelesaikan S1.
Ketika lulis SMA, aku berkunjung kerumah Bu Hernita, menanyakan satu hal yang dulu tidak berani aku tanyakan.
“Kenapa di rapor, meski aku tidak juara, nilaiku masih di tulis dengan jujur?”
Beliau menjawab, “karena itu nilai kamu. Kami tidak berhak mempermainkannya.”
Bertanya-tanya apa saja kenakalanku? Banyak teman-teman. Aku memukul adik dan kakak kelas, padahal mereka tidak sengaja menginjak kakiku waktu antri beli makan di kantin. Aku membuang buku PR teman sekelas yang sering mengangguku, terlebih aku ini perempuan. Dan masih banyak lagi kenakalanku yang lain, sejak kapan? Sejak aku kelas tiga. Luar biasa bukan? Ya, aku anak nakal yang selalu di pukul oleh guru, nyaris setiap hari.
Akulah Indah, korban kekerasan guru, yang berhasil meraih gelar sarjana dengan masa kuliah tiga tahun.
Akulah Indah, korban kekerasan guru, yang setiap hari memiliki luka di bagian jari.
Apakah kedua orang tuaku melaporkan mereka? Ooh tidak! Orang tuaku tahu, bagaimana sifat dan sikapku. Itulah kenapa mereka akan tambah memarahiku, setiap kali aku terkena hukuman.
Akulah Indah, korban kekerasan guru, yang sangat berterimakasih pada rotan dan penggaris kayu itu.
Namaku, Indah. Aku bahagia guruku pernah memukul saat aku nakal.
Terimakasih, Bu Hernita, rotan itu bukan hanya melukai tanganku. Tapi juga berhasil memukul keras batu yang ada di hatiku.
Beliau selalu memanggilku “Ndah” kalau aku sedang tidak bermasalah. Tapi saat aku berbuat salah, beliau akan menyebut namaku “Indah!” Dengan sangat keras.
Aku memakai nama ‘Ndah’ karena aku berterimakasih pada beliau.
Bu, Pak, tahukah anda?
Hanya anda yang tahu karakter anak-anak anda. Bagaimana bisa anda lepaskan tanggung jawab kepada gurunya di sekolah? Tapi anda menahan hak didik bagi mereka atas anak anda.
Bu, Pak, pikirkanlah, apakah mungkin seorang guru tiba-tiba memukul siswanya tanpa kesalahan?
Bu, Pak, mereka menggunakan tangan untuk menjewer. Tapi mereka menghabiskan setengah hidupnya untuk keberhasilan anak anda.
Saat anak anda menjadi dokter, anda berkata dengan bangga, “ini anakku, menjadi dokter karena kerja kerasku!”
Bu, Pak, pernahkah saat anak anda pintar membaca, lantas anda berterimakasih, pada gurunya?
Saat anak anda pandai menghitung, pernahkah berpikir untuk mendoakan gurunya?
Bu, Pak, kalian mengirim mereka ke sekolah, karena kalian tahu, mereka butuh seorang guru. Lantas, mengapa saat anak anda mendapat secuil cubitan, jeweran, lantas anda melaporkan gurunya ke polisi? Memenjarakan gurunya begitu saja.
Bu, Pak, anda tahu karakter anak anda. Pikirkanlah kenapa mereka di jewer, di cubit. Karena gurunya menyayangi mereka, memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Bu, Pak, aku bukan guru, tapi aku adalah korban kekerasan guru, dan aku bangga guruku bersikap keras terhadapku. Karena kalau tidak, maka aku tidak akan seperti sekarang.
Bu, Pak, tidak perlu membawa bingkisan untuk gurunya. Cukup hargai mereka, tundukkan kepala dan ingat bagaimana peranannya untuk masa depan putra dan putri anda.
Mereka guru, dengan tulus mendidik, tapi di rumah, anda memberi anak-anak dengan gadget, dan tontonan televisi yang tak bermoral. Lalu, anda menyalahkan guru ketika anak anda berperangai buruk.
Kilau emas yang anda pakai itu, adalah hasil kerja keras penambang yang digaji tak seberapa.
Begitulah kerasnya kerja seorang pembentuk, seperti guru.
#LoveForTeacher
Jika kita ikuti alur cerita diatas, kemungkinan penulis cerita ini satu angkatan atau tidak jauh beda dengan masa-masa dimana Dilan masih sekolah, hanya saja cerita ini disampaikan tidak sepuitis Dilan menceritakan kisahnya.
Sampai saat ini saya masih mencari sosok yang bernama Indah yang berani menuliskan kisahnya ini, terima kasih saya ucapkan untuk mu Indah. Cerita ini memberikan angin segar kepada guru bahwa tidak semua kekerasan yang dilakukan oleh guru itu akibatnya tidak baik, seperti yang disampaikan oleh para pejabat-pejabat yang katanya pelindung anak-anak.
Video pilihan khusus untuk Anda 😂 Masih menganggap matematika hanya hitung-hitungan semata, mari kita lihat kreativitas siswa ini;
Sumber https://www.defantri.com/
Perkenalkan, aku Indah. Lulusan terbaik Universitas Negeri Jakarta.
Kapan aku duduk di bangku SD? Pada masa teknologi masih Radio dengan antena, dan Televisi masih hitam putih dikeroyok semut.
Aku korban kekerasan guru sejak kelas tiga SD. Masih segar di ingatan, wali kelasku, Pak Yunus, berteriak marah, “hey, kamu! Maju ke depan kelas!” Dengan wajah menantang aku berdiri, menghampiri beliau.
“Selesaikan soal ini!” Lelaki empat puluh tahun itu memukul papan tulis dengan penggaris kayu. “Salah sedikit saja, habis kamu!” Aku dengan yakin mengerjakan soal matematika yang ia berikan.
“Sudah, Pak.” Aku berseru dengan sombong. Yakin kalau jawabanku pasti benar.
Tapi ….
Plak …! Penggaris dengan panjang satu meter itu mendarat di tubuh bagian belakangku. “Kamu perempuan, tapi bengal minta ampun! Duduk!” Aku kembali ke kursi sambil mengusap bagian yang sakit.
Di lain kesempatan, saat aku kelas lima, aku di panggil wali kelas dua, guru wanita yang terkenal killer, kejam dan suka menghukum. Namanya Bu Hernita. Matanya menakutkan, selalu membawa rotan di tangannya.
“Indah, kamu tadi memukul siswa kelas dua. Betul?” Aku biasanya selalu berani menghadapi guru, tapi hari itu, aku tertunduk takut. “Jawab…!” Wanita itu berteriak sambil memukul meja.
Aku benar-benar mati gaya waktu itu. Darah premanku menghilang. Padahal aku sudah sering dipanggil guru, tapi selalu selamat dari guru satu ini. Tapi kali ini, sepertinya adalah hari sialku.
“Kemari…!” Tanganku di tarik mendekat, “kepalkan tanganmu!” Aku menuruti, dan tiga puluh pukulan mendarat di kepalan tangan kecilku. Menangis? Ya, aku menangis, tentu saja, kalian boleh mencobanya, kalau tidak percaya, rasanya sakit!
“Aku akan laporkan pada ayahku!” Aku menangis dan berteriak, mengambil tas di kelas dan berlari pulang.
Tiba di rumah, aku menceritakan semuanya dengan jujur. Apa tanggapan ayahku? Dia menggandeng tanganku, dan kembali ke sekolah. Aku tersenyum penuh kemenangan.
“Rasakan ….” kataku dalam hati.
Tapi … tiba di sekolah, Ayah menghampiri Bu Hernita, dan berkata, “hukum dia lebih keras lagi, Bu, karena dia tidak sadar apa kesalahannya.” Ayah meraih penggaris dan memukul tanganku berulang kali. Dan Bu Hernita menghentikan tindakan Ayah. “Di sekolah, hanya kami yang boleh menghukum. Bapak boleh pulang…!” tegas Bu Hernita.
Setelah Ayah pulang, Bu Hernita membawaku ke lapangan. Mengumpulkan semua siswa.
“Dengar semuanya! Mulai hari ini, Ibu tidak mau ada yang berteman dengan Indah … kalau ada yang berteman, akan Ibu hukum! Faham?” Tatapan Bu Hernita beralih padaku, “dan kamu, kalau masih bersikap seperti ini. Ibu akan keluarkan kamu dari sekolah!” Kemudian beliau berlalu begitu saja.
Terhitung sejak hari itu, aku tidak memiliki satu orang teman pun. Semua teman menjauh setiap kali aku mendekat.
Aku sudah kelas lima menuju kelas enam waktu itu, usiaku bukan balita lagi. Aku sudah remaja, seharusnya sikapku tak seburuk itu.
Sampai pada puncak yang membuat aku terpukul lebih keras dari pukulan Bu Hernita, sore itu sepulang sekolah aku di panggil kepala sekolah. Saat aku masuk, ada Bu Hernita di sana.
“Indah, nilai kamu sejak kelas satu tidak buruk. Kelas satu sampai kelas dua, kamu selalu juara umum. Apa kamu tidak bertanya-tanya, kenapa di kelas tiga sampai kelas lima kamu tidak juara?” Kepala sekolah ku bernama Pak Sudirman, orangnya sangat lembut. Berbicara dengan penuh kasih sayang, “nilai kamu masih tinggi. Bahkan lebih tinggi dari peraih juara umum kita. Tapi perilaku kamu ini, yang membuat nilai angka rapormu tidak ada gunanya.”
Aku tertunduk, Bu Hernita mengusap kepalaku. “Kemari, dengarkan Ibu.” Jujur baru sekali itu aku melihat Bu Hernita selembut kapas berbicara padaku.
“Kamu tahu, Ndah? Apa yang paling berguna? Bukan angka-angka di rapor itu. Melainkan … ini.” Tangan beliau menyentuh dadaku. Aku sudah remaja waktu itu, dan sudah sangat memahami maksud beliau. Bagaimana rasanya? Malu! Ingin menangis, tapi tidak bisa. Jadinya? Sesak di dada!
“Begini, apa Ndah mau berubah? Karena kalau Ndah seperti ini terus, sekolah tidak akan meluluskan.” Aku melihat ke arah Bu Hernita, aku tahu beliau serius.
“Mau berubah?” Bisik beliau pelan. Aku mengangguk. Pelan.
“Ndah janji, Ndah berubah, Bu. Ndah janji gak nakal lagi!”
Aku lulus tes dengan nilai terbaik di SMP favorit. Juga masuk dan lulus SMA dengan nilai yang masih sangat memukau, hingga aku berhasil meraih beasiswa sampai menyelesaikan S1.
Ketika lulis SMA, aku berkunjung kerumah Bu Hernita, menanyakan satu hal yang dulu tidak berani aku tanyakan.
“Kenapa di rapor, meski aku tidak juara, nilaiku masih di tulis dengan jujur?”
Beliau menjawab, “karena itu nilai kamu. Kami tidak berhak mempermainkannya.”
Bertanya-tanya apa saja kenakalanku? Banyak teman-teman. Aku memukul adik dan kakak kelas, padahal mereka tidak sengaja menginjak kakiku waktu antri beli makan di kantin. Aku membuang buku PR teman sekelas yang sering mengangguku, terlebih aku ini perempuan. Dan masih banyak lagi kenakalanku yang lain, sejak kapan? Sejak aku kelas tiga. Luar biasa bukan? Ya, aku anak nakal yang selalu di pukul oleh guru, nyaris setiap hari.
Akulah Indah, korban kekerasan guru, yang berhasil meraih gelar sarjana dengan masa kuliah tiga tahun.
Akulah Indah, korban kekerasan guru, yang setiap hari memiliki luka di bagian jari.
Apakah kedua orang tuaku melaporkan mereka? Ooh tidak! Orang tuaku tahu, bagaimana sifat dan sikapku. Itulah kenapa mereka akan tambah memarahiku, setiap kali aku terkena hukuman.
Akulah Indah, korban kekerasan guru, yang sangat berterimakasih pada rotan dan penggaris kayu itu.
Namaku, Indah. Aku bahagia guruku pernah memukul saat aku nakal.
Terimakasih, Bu Hernita, rotan itu bukan hanya melukai tanganku. Tapi juga berhasil memukul keras batu yang ada di hatiku.
Beliau selalu memanggilku “Ndah” kalau aku sedang tidak bermasalah. Tapi saat aku berbuat salah, beliau akan menyebut namaku “Indah!” Dengan sangat keras.
Aku memakai nama ‘Ndah’ karena aku berterimakasih pada beliau.
😊😊😊
Bu, Pak, tahukah anda?
Hanya anda yang tahu karakter anak-anak anda. Bagaimana bisa anda lepaskan tanggung jawab kepada gurunya di sekolah? Tapi anda menahan hak didik bagi mereka atas anak anda.
Bu, Pak, pikirkanlah, apakah mungkin seorang guru tiba-tiba memukul siswanya tanpa kesalahan?
Bu, Pak, mereka menggunakan tangan untuk menjewer. Tapi mereka menghabiskan setengah hidupnya untuk keberhasilan anak anda.
Saat anak anda menjadi dokter, anda berkata dengan bangga, “ini anakku, menjadi dokter karena kerja kerasku!”
Bu, Pak, pernahkah saat anak anda pintar membaca, lantas anda berterimakasih, pada gurunya?
Saat anak anda pandai menghitung, pernahkah berpikir untuk mendoakan gurunya?
Bu, Pak, kalian mengirim mereka ke sekolah, karena kalian tahu, mereka butuh seorang guru. Lantas, mengapa saat anak anda mendapat secuil cubitan, jeweran, lantas anda melaporkan gurunya ke polisi? Memenjarakan gurunya begitu saja.
Bu, Pak, anda tahu karakter anak anda. Pikirkanlah kenapa mereka di jewer, di cubit. Karena gurunya menyayangi mereka, memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Bu, Pak, aku bukan guru, tapi aku adalah korban kekerasan guru, dan aku bangga guruku bersikap keras terhadapku. Karena kalau tidak, maka aku tidak akan seperti sekarang.
Bu, Pak, tidak perlu membawa bingkisan untuk gurunya. Cukup hargai mereka, tundukkan kepala dan ingat bagaimana peranannya untuk masa depan putra dan putri anda.
Mereka guru, dengan tulus mendidik, tapi di rumah, anda memberi anak-anak dengan gadget, dan tontonan televisi yang tak bermoral. Lalu, anda menyalahkan guru ketika anak anda berperangai buruk.
Kilau emas yang anda pakai itu, adalah hasil kerja keras penambang yang digaji tak seberapa.
Begitulah kerasnya kerja seorang pembentuk, seperti guru.
#LoveForTeacher
Jika kita ikuti alur cerita diatas, kemungkinan penulis cerita ini satu angkatan atau tidak jauh beda dengan masa-masa dimana Dilan masih sekolah, hanya saja cerita ini disampaikan tidak sepuitis Dilan menceritakan kisahnya.
Sampai saat ini saya masih mencari sosok yang bernama Indah yang berani menuliskan kisahnya ini, terima kasih saya ucapkan untuk mu Indah. Cerita ini memberikan angin segar kepada guru bahwa tidak semua kekerasan yang dilakukan oleh guru itu akibatnya tidak baik, seperti yang disampaikan oleh para pejabat-pejabat yang katanya pelindung anak-anak.
Video pilihan khusus untuk Anda 😂 Masih menganggap matematika hanya hitung-hitungan semata, mari kita lihat kreativitas siswa ini;
Belum ada Komentar untuk "Aku Korban Kekerasan Guruku"
Posting Komentar